Abdul Mu’ti: Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dan Optimisme Menuju Indonesia Emas

Cibubur — Langit Cibubur cerah pagi itu, Sabtu, 24 Mei 2025, ketika 1000 tamu undangan mulai memadati Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, sekolah yang diresmikan hari itu. Gedung berwarna coklat earth tone itu tampak kokoh sekaligus anggun, dengan detail arsitektur modern minimalis yang memancarkan kesan serius dan bersahabat. Dalam suasana meriah namun khidmat, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., hadir memberikan sambutan yang sarat makna—lebih dari sekadar formalitas seremonial.

Dengan gaya pidato yang renyah, bernas, dan sesekali diselingi guyonan khas, Prof. Mu’ti membuka orasinya dengan pujian tulus: “Bangunan sekolah yang sangat megah dan mewah ini dibangun tanpa serupiah pun dari bantuan pemerintah.” Tak sekadar basa-basi, ucapan itu disambut tepuk tangan hadirin, menandai pengakuan terhadap kontribusi konkret masyarakat dalam membangun pendidikan nasional.

Ia lalu menyampaikan harapan yang setengah bercanda namun tak kurang serius, “Kalau namanya Bakti Mulya 400, maka mohon dibangun sekolah seperti ini sebanyak 400. Kalau jumlahnya sudah 400, harapan kita untuk Indonesia Emas 2045 saya yakin akan terwujud lebih cepat dari waktunya.”

Di hadapan para tokoh pendidikan, pendiri yayasan, dan undangan kehormatan, Mu’ti tak hanya menyampaikan pujian, tetapi juga menegaskan posisi pendidikan swasta sebagai mitra strategis pemerintah. “Tidak ada lagi wacana dalam diri kami untuk menempatkan negeri dan swasta dalam posisi yang berkompetisi. Semuanya adalah mitra,” tegasnya. Di bawah kepemimpinannya, Kementerian mengusung tema “Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” pada peringatan Hardiknas 2025, sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip inklusi dan kolaborasi.

Pidato Mu’ti hari itu tak sekadar administratif. Ia menyelami sejarah dan sosiologi—mengingat kembali tulisan Aswab Mahasin di majalah Prisma tentang “Muslim Middle Class” yang muncul pada dekade 1980-an. Kelompok muslim kelas menengah yang tak hanya semakin sejahtera secara ekonomi, tetapi juga semakin sadar akan tanggung jawab sosial dan keagamaan mereka. Dari situlah Mu’ti memperkenalkan istilah “MUKIDI”: Muda, Kaya, Intelek, Dermawan, dan Idealis.

Karakter “Mukidi” ini, menurutnya, sangat tergambar dalam semangat dan latar belakang pendiri serta pengelola Sekolah Bakti Mulya 400. “Mereka ini wealthy people, tetapi juga dermawan. Mereka membantu sesama, bahkan yang tak dikenal, dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. Dan mereka tetap idealis, dengan latar belakang intelektual yang kuat,” ujarnya. Bagi Mu’ti, inilah potret kelompok masyarakat yang dapat menjadi motor perubahan: kelas menengah muslim yang tak hanya menanjak secara finansial, tapi juga spiritual dan sosial.

Dalam satu segmen pidatonya, ia membandingkan sekolah Bakti Mulya sebelumnya dengan yang baru ini. “This is a very excellent school,” katanya, mengenang masa lalu ketika masih menjadi Ketua Badan Akreditasi. “Dan ternyata yang excellent di sana, di sini lebih excellent lagi. Kalau di sana excellent, di sini excellentist,” guraunya yang disambut tawa hadirin.

Namun, nada kembali serius ketika ia menyampaikan pokok-pokok visi pendidikan nasional: pendidikan sebagai proses memuliakan manusia. Ia mengutip Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70, yang menyebut bahwa Allah telah memuliakan anak-anak Adam. “Kalau Allah memuliakan manusia, maka pendidikan sebagai proses tarbiyah harus menjadi proses yang memuliakan,” katanya dengan lantang. Baginya, pendidikan yang sejati bukan sekadar soal mengejar nilai atau prestasi, melainkan bagaimana menjadikan setiap murid dihargai, dituntun, dan tumbuh sesuai fitrahnya.

Baca juga : Guru Sekolah BM 400 Cibubur Hadiri Festival Belajar SD BM 400 Pondok Indah

Ia menekankan bahwa arah baru pendidikan nasional adalah pendidikan yang memuliakan, mendalam (deep learning), dan membahagiakan. “Pendidikan harus membuat semua orang merasa seperti di rumah. Di sekolah, mereka harus merasa seperti berada di antara ayah dan bunda yang penuh kasih,” katanya, menutup gagasan yang sangat manusiawi.

Menjelang akhir pidato, Mu’ti menyampaikan permohonan maaf karena tak bisa mengikuti acara hingga selesai. Ia harus mewakili Wakil Presiden pada agenda lain di Taman Mini. Namun, dengan gaya khasnya, ia menegaskan, “Walaupun sudah pulang, spirit saya tetap berada di sini.”

Sambutan Mu’ti hari itu bukan hanya memberi semangat bagi pengelola Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, tetapi juga menjadi narasi besar bahwa pendidikan Indonesia bisa bergerak maju lewat gotong royong. Sekolah swasta, dengan semangat dan kontribusi nyata, adalah bagian penting dari mimpi Indonesia Emas 2045. Maka tak berlebihan jika pagi itu, di bawah langit Cibubur, terasa ada seberkas harapan baru yang tumbuh—khususnya untuk Sekolah Bakti Mulya 400 juga untuk masa depan bangsa.