Oleh Hadi Suwarno
Sejak terjadinya pandemic Covid 19, kalangan pendidik – siap tidak siap– dipaksa untuk mengubah strategi pembelajannya. Kegiatan yang semula school base berubah menjadi home base. Munculnya home learning merupakan kegiatan sekolah yang berlangsung di rumah. Jadilah home learning merupakan kegiatan yang menggabungkan kompetensi guru, pengasuhan orang tua dan kemandirian anak. Kegiatan tersebut selain penting juga bisa berdampak signifikan pada hasil belajar siswa. Hal tersebut bisa menjadi hal normal baru (the new normal) yang bisa dipraktekkan dalam pembelajaran jangka panjang.
Normalitas baru hakekatnya penguatan kegiatan yang sudah berlangsung yang bersifat positif (best practice). Bisa disebut model bila hal tersebut telah dilakukan terus-menerus sebagai pola kegiatan. Nah, hal baik apa yang perlu dilanjutkan menjadi model pembelajaran di kelas pasca covid 19?
Kurikulum Individual
Hampir semua sekolah menerapkan kurikulum yang bersifat baku. Di didalamnya ada sejumlah pelajaran bersifat nasional sampai lokal. Dengan sistem demikian maka semua anak dianggap sama dan diperlakukan sama.
Pada masa home learning Covid 19 ini kita mengalami kesulitan untuk menyamaratakan semua siswa. Guru dihadapkan untuk bisa mengakomodasi perbedaan individu. Guru harus mengakui perbedaan potensi siswa bahkan lingkungan dimana mereka tinggal.
Pada masa mendatang perbedaan individu, terutama aspek kecerdasan, bakat, minat dan modalitas perlu mendapatkan prioritas. Sudah selayaknya bukan hanya kurikulum nasional dan lokal namun ada kurikulum individual.
Dalam hal kecerdasan dikembangkan kecerdasan beragam (multiple intelligence). Dalam hal bakat dan minat telah siswa dibimbing memiliki kegiatan yang terencana dari usia dini sampai remaja. Dan dalam hal modalitas, siswa telah dipetakan penggunaan peran inderanya dalam belajar.
Penalaran dan Kemandirian
Selama ini pembelajaran konvensional sangat mengandalkan referensi buku teks. Kegiatan belajar juga dilakukan dengan cara menulis di buku tulis, mengisi lembar kerja untuk kegiatan praktek dan melakukan ujian berbasis paper and pencil.
Namun datangnya home learning Covid 19 yang begitu tiba-tiba membuat segalanya menjadi dramatis, karena semua hal tersebut harus dilakukan serba digital.
Untungnya sekarang ini sudah di era revolusi industri 4.0 dimana sumber bahan ajar digital sangat mudah didapatkan. Ada banyak pilihan dalam pengelolaan kelas dengan Learning management system (LMS). Dan ada beragam pilihan dalam melaksanakan ujian online.
Hal ini meyakinkan kita tujuan belajar bukan sekedar mendapatkan bahan ajar akan tetapi mengolah bahan ajar itu. Tujuan belajar yang sebenarnya menggunakan daya nalar, memupuk empati dan menciptakan produk hasil belajar (cipta, rasa, karsa).
Nilai pembelajaran tertinggi adalah menciptakan siswa yang memiliki kemauan untuk belajar sepanjang hayat dengan caranya sendiri. Nilai ini bisa diperoleh siswa jika mereka mendapatkan cara untuk mempelajari sesuatu (how to learn) bukan sekedar apa yang dipelajari dari suatu pelajaran.
Kelas Terbalik (Flipped Classroom)
Dalam sistem pembelajaran tradisional, konsep atau materi pelajaran disajikan guru di kelas. Umumnya yang sajian tersebut memiliki level belajar LOTS (low order thinking skills). Sedangkan penugasan dan projek yang bersifat HOTS (high order thinking skills) justru dibuat sebagai pekerjaan rumah.
Dengan home learning masa Covid 19, guru telah melakukan delivery pembelajaran ke rumah siswa secara online. Kegiatan tersebut dilakukan guru dengan metode sinkron (teleconference) maupun asinkron (tunda, misalnya memberi tugas di google classroom).
Dengan demikian fungsi rumah sebagai tempat mempelajari konsep atau materi pelajaran bisa diciptakan oleh guru. Siswa mempelajari konten belajar yang bersifat LOTS di rumah secara mandiri.
Selanjutnya siswa akan melakukan pembelajaran di kelas dengan konten belajar yang bersifat HOTS. Siswa yang datang ke kelas sudah memiliki pemahaman materi sehingga kegiatan berpusat pada diskusi antar siswa (student center). Semua siswa akan terlibat secara aktif (active learning). Pembelajaran dirancang untuk memecahkan masalah (problem base learning) juga untuk menghasilkan produk otentik sepedan (project based learning).
Blended Learning
Seperti disampaikan di atas, pada masa home learning Covid 19, telah terjadi perubahan sumber belajar dari buku teks kepada sumber digital. Kata ‘blend’ mengingangatkan kita pada ‘blender’ yaitu alat di dapur yang digunakan untuk mencampur secara merata suatu adonan. Blended learning merupakan pembelajaran yang mengkombinasikan sistem pendidikan konvensional dengan sistem yang serba digital.
Kombinasi sumber konvensional dan digital disesuaikan dengan karakteristik usia siswa dan mata pelajaran. Pada usia anak-anak proporsi sumber digital bisa hanya 25% selebihnya merupakan benda-benda nyata untuk stimulasi motoric. Sebaliknya pada usia sekolah atas sumber digital bisa mencapai 75% dan memacu berpikir abstaksi.
Karakteristik mata pelajaran juga berbeda dalam penerapan blended learning. Mata pelajaran dengan sifat life skill bisa hanya menggunakan 25% sumber digital, selebihnya merupakan praktek. Sedangkan mata pelajaran bersifat akademik bisa menggunakan 50% sumber digital. Bahkan untuk matapelajaran pengetahuan umum bisa menggunakan 75% sumber digital.
Pengenalan sumber belajar digital bukan hanya untuk melengkapi bahan ajar itu sendiri. Namun yang paling penting justru menyiapkan siswa menjadi warga digital (digital citizenship) yang bertanggungjawab, memupuk daya ekplorasi dan membina rasa ingin tahu (curiosity).
Guru Sebagai Coaching & Mentoring
Dalam masa home learning Covid 19, dominasi guru atas siswa menjadi berkurang. Pengurangan tersebut oleh sebab guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Karena sumber informasi bisa diperoleh dari akses internet.
Selain itu guru juga tidak lagi menjadi satu-satunya penentu nilai. Karena dalam keseharian ada orang tua sebagai pengontrol nilai.
Namun demikian peran guru menjadi lebih penting sesuai dengan era yang berubah tersebut. Pada masa lampau guru menduduki herarki di atas murid dalam segala hal. Guru tetap menduduki herarki di atas murid dalam hal usia dan kedewasaan. Namun dalam fungsi pembelajaran guru adalah pelatih (coaching) dan pembimbing (mentoring) bagi siswa.
Kata kunci dalam aktivitas coaching adalah menemukan masalah, merumuskan cara memecahkan masalah dan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalah. Peran seorang coach (guru) adalah memfasilitasi agar coachee (murid) menemukan masalah dan memecahkannya sendiri.
Sedangkan mentoring merupakan proses pembinaan dan bimbingan dengan hubungan emosional yang kuat dari guru (mentor) kepada siswa (mentee) bertujuan untuk membentuk pertumbuhan, perkembangan, kompetensi dan karakter ke arah yang positif.
Dalam coaching diperlukan kompetensi pedagogi & professional seorang guru. Sedangkan dalam mentoring diperlukan kompetensi kepribadian dan sosial guru.