Cibubur – Perpustakaan Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur siang itu tampak lebih ramai dari biasanya. Puluhan pasang mata—para guru, pimpinan sekolah, hingga tenaga kependidikan—tertib memenuhi kursi-kursi yang ditata rapi. Hari Rabu, 17 September 2025, sekolah yang dikenal dengan semangat nasionalisme, religiusitas, dan internasionalisme itu menggelar sebuah diskusi dengan narasumber yang bukan orang sembarangan: Dr. Muhammad Said Didu atau dikenal Said Didu, mantan pejabat eselon satu Kementerian BUMN, aktivis senior, dan akademisi yang selama ini dikenal lantang menyuarakan integritas dalam ruang publik.
Tema diskusi yang digelar Yayasan Bakti Mulya 400 terdengar tak biasa: “Merawat Adrenalin Para Aktivis.” Sebuah frasa yang bergaung seakan mengingatkan bahwa sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu, tetapi arena menyalakan nyali, menyemai kejujuran, dan menumbuhkan keberanian.
Optimisme dari Panggung Pembuka
Acara dibuka oleh Dr. Sutrisno Muslimin, M.Sc., Ketua Pelaksana Harian BM 400. Dengan suara semangat penuh aksentuasi, ia menegaskan pentingnya menumbuhkan optimisme. “Setiap peluang yang ada gunakan dengan semaksimal mungkin sesuai kapasitas kita,” katanya, mengajak seluruh civitas untuk tidak terjebak dalam pesimisme zaman.
Optimisme, menurut Sutrisno, adalah fondasi: tanpa itu, kapasitas hanya tinggal potensi, dan keberanian hanyalah keberisikan.
Pesan Tegas: Jangan Jadi Cendekiawan Kanebo
Ketika mikrofon berpindah ke tangan Said Didu, suasana ruangan berubah. Ia membuka dengan tiga kata kunci yang ia sebut sebagai pilar utama pendidikan: integritas, kapasitas, dan keberanian.
“Anak-anak kita harus diajari berani jujur, berani berpendapat, dan berani bertanggung jawab,” ujarnya, menekankan kata berani tiga kali, seakan ingin menanamkannya ke benak para guru yang hadir.
Said lalu melempar istilah satir yang langsung mencuri perhatian: cendekiawan kanebo. “Apa itu?” tanyanya retoris. “Itu cendekiawan yang menghapus kesalahan untuk menyenangkan penguasa. Mereka kering, hanya bisa menyerap perintah, bukan menyuarakan kebenaran.”
Tawa kecil terdengar, tapi segera berubah menjadi hening penuh makna. Pesan itu menusuk: jangan sampai pendidikan melahirkan generasi yang pintar, namun kehilangan nyali.
Melawan Kebohongan Sejak Dini
Pilar kedua yang ditegaskan Said adalah kejujuran. Ia menyebut kebohongan sebagai “virus sosial” yang berbahaya. “Latih siswa untuk menyuarakan kejujuran. Luruskan apabila berbohong. Jangan beri celah kebohongan merajalela,” katanya.
Menurutnya, kebohongan kecil di ruang kelas bisa jadi bibit kebiasaan yang terbawa ke ruang publik. Jika dibiarkan, bangsa ini akan terbiasa dengan kepalsuan. “Di titik itulah pendidikan punya peran vital: membasmi virus kebohongan sebelum menular.”
Memberi Jalan bagi yang Pintar dan Bermoral
Said juga menyinggung soal kepemimpinan. Dalam pandangannya, bangsa ini sering salah kaprah: orang pintar dan bermoral sering tersingkir, sementara yang hanya pandai berpolitik justru diberi jalan.
Baca juga : Open House Pendaftaran Siswa Baru 2025 di Sekolah Bakti Mulya 400
“Hargai orang pintar dan bermoral, beri kesempatan mereka memimpin,” ujarnya, menekankan bahwa pendidikan tidak cukup melahirkan kecerdasan kognitif. Ia harus melahirkan integritas moral.
Pentingnya Menguasai Engineering
Bagian lain yang mencuri perhatian adalah ketika Said berbicara tentang kekayaan alam Indonesia. Ia menyoroti perlunya generasi baru yang menguasai ilmu teknik, khususnya engineering economics.
“Kalau sumber daya kita hanya dikelola oleh orang pintar teori, hasilnya habis jadi barang konsumtif tanpa nilai tambah,” ujarnya. Ia menyebut bahwa hanya bangsa yang menguasai ilmu teknik dan ekonomi terapan yang bisa memanfaatkan kekayaan alam menjadi kesejahteraan jangka panjang.
Indonesia, kata Said, kaya raya. Tapi tanpa pengelolaan yang cerdas dan berintegritas, kekayaan itu hanya akan menguap, meninggalkan jejak konsumsi, bukan kemajuan.
BM 400 dan DNA Aktivisme
Diskusi dengan Said Didu tak datang dari ruang hampa. Sejak awal berdirinya, Sekolah Bakti Mulya 400 memang punya akar kuat dalam dunia aktivisme. Lahir dari semangat Yayasan Keluarga 400—organisasi eks Tentara Pelajar Batalyon 400 Brigade XVII TNI—sekolah ini bukan hanya tempat belajar formal, tetapi kawah candradimuka pembentukan karakter.
DNA itu kembali ditegaskan siang itu: aktivisme bukan berarti turun ke jalan, tapi berani bersuara, teguh memegang kebenaran, dan konsisten memperjuangkan nilai moral.